"Bismillahiraahmanirrahim.., Perjuangan itu dirintis oleh orang-orang yg ALIM, diperjuangkn oleh orang-orang yg IKHLAS, dan dimenangkan oleh orang orang yang PEMBERANI.."

Suka Blog Ini..?

Selasa, 08 Mei 2012

Kekuatan Bening



 Bukan kita yang memilih takdir
Takdirlah yang memilih kita
Bagaimanapun, takdir bagaikan angin
bagi seorang pemanah
Kita selalu harus mencoba
untuk membidik dan melesatkannya
Di saat yang paling tepat

-Shalahudin Al Ayyubi-

Obsesi tujuh abad itu begitu bergemuruh di dada seorang Sultan muda, baru 23 tahun usianya. Tak sebagaimana lazimnya, obsesi itu bukan mengeruhkan, melainkan semakin membeningkan hati dan jiwanya. Ia tahu, hanya seorang yang paling bertaqwa yang layak mendapatkannya. Ia tahu, hanya sebaik-baik pasukan yang layak mendapatkannya.

Maka di sepetiga malam terakhir menjelang penyerbuan bersejarah itu ia berdiri di atsa mimbar, dan meminta semua pasukannya berdiri. “Saudara-saudaraku di jalan Allah”, ujarnya, “Amanah yang dipikulkan di pundak kita menuntut hanya yang terbaik yang layak mendapatkannya. Tujuh ratus tahun lamanya nubuat Rasulullah telah menggerakan para mujahid tangguh, tetapi Allah belum mngizinkan mereka memenuhinya. Aku katakana kepada kalian sekarang, yang pernah meningglakna shalat fardhu sejak balighnya, silakan duduk!”

Begitu sunyi. Tak seorang pun bergerak.

“Yang pernah meningglakan puasa Ramadhan silakan duduk!”

Andai sebutir keringat jatuh ketika itu, pasti terdengar. Hening sekali, tak satu pun bergerak.

“Yang pernah menghatamkan Al Quran melebihi sebulan silakan duduk!”

Kali ini, beberapa gelintir orang perlahan menekuk kakinya. Berlutut berlinang air mata.

“Yang pernah kehilangan hafalan Al Quran-nya, silakan duduk!”

Kali ini lebih banyak yang menangis sedih, khawatir tak terikut menjadi ujung tombak pasukan. Mereka pun duduk.

“Yang pernah meninggalkan shalat malam sejak balighnya, silakan duduk!”

Tinggal sedikit yang masih berdiri, dengan wajah sangat tegang, dada berdegub kencang, dan tubuh menggeletar.

“Yang pernah meninggalkan puasa Ayyamul Bidh, silakan duduk!”

Kali ini semua terduduk lemas. Hanya satu orang yang masih berdiri. Dia, sang sultan sendiri. Namanya Muhammad Al Fatih. Dan obsesi tujuh abad itu adalah Konstantinopel.

Sejak kecil, ia berada dalam bimbingan Syaikh Aaq Syamsudin. Mufti di istana Sultan Murad itu sering membacakan untuk Al Fatih sebuah hadist Rasulullah dari ‘Abdullah ibn ‘Amru ibn Al ‘Ash. Suatu ketika, sahabat Rasulullah yang zuhud, putra penakhluk Mesir iu pernah ditanya, “Mana yang lebih dulu dibebaskan, Konstantinopel ataukah Roma?” Syukurlah ‘Abdullah pernah mencatat, bahwa Rasulullah ketika ditanyai pertanyaan yang sama menjawab, “Kota Heraclius lebih dahulu. Yang menaklukkannya adalah sebaaik-baik pasukan. Dan pemimpinnya adalah sebaik-baik panglima.”

Hadist ini begitu menggelora Al Fatih kecil, menguasainya, dan membeningkan dirinya untuk menjadi ‘sebaik-baik panglima’, atau setidak-tidaknya menjadi anggota ‘sebaik-baik pasukan’. Ia menjauhi kehidupan mewah istana, berguru kepada para ‘ulama, beribadah dengan khusyu’-nya. “Ya Allah, jadikan aku sebaik-baik pemimpin, atau sebaik-baik prajurit!”, pintanya dalam doa. Tiap pagi, dari puncak perbukitan Bursa, dia memandang ke seberang utara Laut Marmara, kearah Konstantinopel.

Konstantinopel. Visi yang bening itu menguasai Al Fatih. Membuatnya mendekatkan diri kepada Allah sdekat-dekatnya. Membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tak dinyana manusia. Seperti ketika dengan kayu gelondongan yang dilukuri lemak sapi, diseberangkan kapal-kapal perang memasuki perairan Konstantinopel lewat darat karena sebelumnya sulit ditembus lewat perairan.

Di jalan cinta para pejuang, kita membutuhkan visi yang bening untuk mengkokohkan jiwa dan merambatkan cinta.



sumber : Salim A. Fillah (Jalan Cinta para Pejuang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar